Cerita di Balik Kilau Gula Pasir

Post at Monday, 17 October 2016

SURABAYA (17/10/16) Pepatah ada gula ada semut nyata tergambar dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan pabrik gula, tempat orang menggiling tebu untuk memeras nira dan mengolahnya menjadi gula kristal.

Dampak dan Agus adalah dua orang penebang tebu yang setiap musim giling meninggalkan kampung untuk mendapat penghasilan yang lebih besar dibanding menjadi buruh tani di dekat rumah.

Sudah empat tahun berturut-turut Agus, lajang yang belum genap 30 tahun, meninggalkan rumahnya di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, untuk bekerja menjadi penebang tebu di Kabupaten Madiun selama musim giling.

Jarak dari kampungnya ke tempat kerja memang kurang dari 100 kilometer, tetapi tetap saja membuat dia terpisah dari keluarga dan kerabatnya.

Menjadi tukang tebang tebu bukan pekerjaan yang ringan, tapi Agus mengatakan bahwa penghasilannya lumayan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sekitar Rp100.000 hingga Rp150.000 sehari.

Rekan kerjanya Dampak, yang lebih senior dan sudah sepuluh tahun lebih menjadi penebang tebu, berasal dari Kabupaten Blora di pesisir utara Jawa Tengah.

Dampak bertutur ia berangkat bersama beberapa tetangganya dari Blora menuju Madiun setiap musim giling antara bulan Juli hingga Oktober.

"Saya sudah berpengalaman dan tahu apa yang harus dikerjakan,"ujarnya sembari duduk beristirahat, menanti batang-batang tebu yang diangkut traktor dari ladang untuk dinaikkan ke truk.

Hari ini pekerjaan Agus, Dampak, Darmin dan para penebang lain yang sedang bekerja di daerah Ngasinan, Kabupaten Ponorogo, cukup berat karena ladang tebu yang mereka tebang jauh dari jalan besar, bahkan melintasi anak sungai kecil.

Tebu-tebu yang sudah mereka potong harus dinaikkan traktor untuk mencapai bibir sungai, lalu dipanggul menyeberang sungai dan dinaikkan ke bak truk.

"Dalam sehari rata-rata kami memuat delapan sampai sembilan truk," kata Cecep, petugas yang mengawasi penebangan.

Sehari sebelumnya turun hujan lebat dan traktor pengangkut tebu tidak bisa turun mendekati tepi sungai, membuat para penebang mencari akal dengan memanfaatkan dua batang bambu yang mereka potong dari rumpun di tepi sungai menjadi alat peluncur batang tebu dari atas tebing.

Tebu-tebu itu lalu mereka angkut di atas bahu. Rata-rata seorang penebang mengangkut puluhan batang dengan bobot sekitar 50 kilogram, menyeberangi sungai dengan air setinggi betis hingga sepaha orang dewasa, lalu menaiki tangga menuju bak truk.

Tiba-tiba Darmin, penebang dari desa setempat, memungut kalajengking yang menempel pada salah satu batang tebu dan melemparnya jauh.

Bertemu kalajengking sudah biasa bagi mereka, bahkan tak jarang hewan berbisa itu menggigit kaki atau tangan mereka.

Bila ada penebang kena gigitan kalajengking, sebagai penawar mereka akan mematahkan capit penyengat dan memakan badang kalajengking tersebut.

"Kalau sudah memakan itu badan tidak sakit," kata Darmin, menambahkan bahwa bila kalajengkingnya sudah lari dan tidak bisa ditemukan, mereka harus menanggung rasa sakit terkena bisanya.

"Nggih ndrodok, panas-adem (ya gemetar, panas dingin)," katanya bila tidak memakan badan kalajengking setelah tergigit.

Bukan saja kalajengking yang suka menempel di batang tebu, kadang-kadang mereka menemukan ular di antara tumpukan batang tebu yang harus mereka angkut.

Baik Agus, Dampak dan Darmin maupun para penebang lain mengatakan bahwa pekerjaan sebagai penebang tebu memiliki tantangan yang berat.

Para pemula biasanya tidak akan tahan terkena glugut, lapisan berbulu di pucuk batang tebu yang bisa menimbulkan rasa panas dan gatal apabila terkena kulit.

Orang baru ada yang sehari hingga empat hari saja sudah mundur dan pulang, kata Agus yang tubuhnya sudah kebal terkena glugut ataupun tergores.

Dalam satu hari seorang petani rata-rata menebang dan mengangkut sekitar 25 kwintal tebu yang dikerjakan bersama-sama secara berkelompok. Untuk pekerjaan tersebut mereka mendapat penghasilan sekitar Rp100.000,-.

"Kami bekerja dari pagi hingga petang, biasanya dijemput dengan truk menuju ladang tebu," kata Darmin.

Penebang yang berasal dari luar kota mendapat tempat mondok di rumah-rumah penduduk selain jatah makan tiga kali sehari dan rokok, sedangkan penebang lokal seperti Darmin tidak mendapat jatah makan.

Darmin beruntung, istri yang dia nikahi sekitar 20 tahun selalu setia mengikuti hingga ke dekat ladang tempatnya bekerja untuk berjualan makanan dan minuman sehingga dia bisa menumpang makan dan minum.

Selama satu musim giling yang rata-rata berlangsung antara 120-140 hari, para pekerja bisa memperoleh upah sekitar Rp5 juta dengan sistem pembayaran per minggu.

"Uang 100 ribu rupiah sekarang untuk belanja tidak bisa penuh satu tas kresek beda dengan tahun 1990-an, Rp25.000,- bisa untuk beli macam-macam," kata Darmin.

Orang penting

"Penebang tebu menjadi orang-orang penting yang harus diperhatikan dan sedikit dimanja, karena jumlah mereka tidak banyak dan pekerjaan memotong batang tebu dibatasi oleh waktu," kata Djumono, SP, salah seorang sinder kebun di Pabrik Gula Pagotan, Madiun.

Para penebang adalah orang bebas, mereka bisa memilih untuk bekerja di ladang mana saja, apakah lahan sewa yang dikelola pabrik gula atau pun lahan milik petani tebu rakyat.

"Kita harus pandai-pandai menjaga hubungan agar mereka betah karena sekarang para penebang lebih cepat mendapat informasi tempat kerja yang memberi fasilitas lebih baik hanya dengan ini," kata Djumono sambil menggerakkan telepon selularnya.

Selain karena perbedaan tawaran upah, menurut dia, para penebang bisa pindah ke ladang lain bila makanan yang disediakan lebih enak dan banyak serta merek rokoknya lebih bagus.

PG Pagotan, salah satu pabrik yang berada di bawah PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI saat Ini memberikan upah tebang Rp6.000,- per kwintal tebu.

"Persaingan untuk mendapat tenaga tebang sangat tinggi karena pekerjaan harus dilakukan hampir bersamaan waktunya sementara jumlah penebang tidak terlalu banyak bahkan harus dipanggil dari luar kota," kata Stefanus Drimahardhika, Kepala Kebun Wilayah (sebutan baru untuk sinder) di PG. Pagotan.

Kekeluargaan

Penanganan penebang harus dilakukan dengan cara kekeluargaan agar mereka betah bekerja, kata Sumanto (37), seorang petani tebu rakyat yang memiliki lahan tanam seluas 50 hektare.

Sumanto menuturkan bahwa ia menyerahkan urusan konsumsi pada istrinya yang mempekerjakan beberapa orang untuk memasak bagi para tukang tebang.

"Selama ini saya tidak mempunyai masalah mengenai tenaga kerja untuk menanam, merawat ladang dan memanen, karena saya berusaha memperlakukan mereka seperti keluarga," ujarnya.

Rasa kekeluargaan itu dibangun dengan menempatkan diri bukan sebagai tuan, melainkan orang ikut bersama-sama dalam setiap proses pekerjaan.

"Saya ikut menanam juga menebang tebu," kata pria yang baru 10 tahun beralih menjadi petani tebu setelah menjadi pemilih lahan kebun jati di Desa Dolopo di Kabupaten Madiun itu.

Untuk satu musim tebang, Sumanto mempekerjakan sekitar 50 orang dan setiap minggu membayarkan upah sekitar Rp70 juta.

Sumanto mengaku menyukai pekerjaan sebagai petani tebu karena merasa bekerja setiap hari mulai dari menyiapkan lahan tanam, menanam, merawat tanaman, penebangan dan mengirim tebu ke pabrik, menyiapkan bibit dan siklusnya berulang terus.

Menanam jati tidak terlalu sibuk sehingga ia merasa tidak bekerja.

Bagi pabrik gula, pendampingan terhadap petani tebu harus terus menerus dilakukan untuk menghasilkan tanaman yang subur dengan kadar gula tinggi.

"Ada kecenderungan petani memakai pupuk sebanyak-banyaknya agar tanaman tumbuh subur, padahal apabila kebanyakan pupuk tanaman akan tumbuh besar tetapi kadar gulanya kecil," kata Manager Quality Control PG Pagotan, Ninit Hartatik Kartika.

Masa tebang juga harus ditentukan dengan tepat pada saat rendemen atau kadar gula di dalam tebu tinggi, karena apabila kurang masak atau kelebihan maka rendeman akan rendah, katanya.

Saat musim tebang tiba, para penebang mulai bekerja. Kisah mereka tersimpan dalam sesendok gula pasir yang manis dan berkilau bagaikan kristal. (Jo/Sumber:disini)