Mengintip Potensi Wisata Pabrik Gula di Situbondo

Post at Friday, 12 August 2016

SURABAYA (12/08/2016) Sebuah lokomotif uap terparkir di depan gedung tua di kompleks Pabrik Gula (PG) Olean, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, Sabtu (30/7/2016) sore. Meski sudah berusia puluhan tahun, lokomotif yang diberi nama "Semeru" itu masih terlihat bersih dan terawat. Dua gerbong terlihat menempel di belakang lokomotif. Dari bentuknya, gerbong tersebut nampaknya tidak digunakan untuk mengangkut tebu, karena dilengkapi tempat duduk penumpang. 

Misgianto, sang masinis, terlihat sedang menyiapkan potongan kayu untuk bahan bahan bakar mesin lokomotif karena esok hari wisatawan mancanegara akan menyewa lokomotif tersebut untuk berkeliling kebun tebu. Dibantu rekannya Rusmandono, Misgianto memeriksa satu persatu komponen lokomotif yang dilengkapi cerobong uap besar di bagian depannya itu.

"Lokomotif ini sudah sangat tua, lebih tua dari saya. Sama seperti orang tua, banyak penyakitnya," kata warga asli Desa Olean Tengah, Kecamatan Situbondo ini. Untuk menjalankan lokomotif uap tersebut, Misgianto harus mulai membakar kayu-kayu tersebut sejak pagi. Sebab, bahan bakar lokomotif harus dibakar setidaknya lima jam sebelumnya untuk memanaskan mesin.

"Kayunya harus kering semua, jika ada kayu yang basah, pembakaran bahan baku tidak akan maksimal," jelas bapak satu anak ini. Misgianto sudah 13 tahun bekerja di PG warisan kolonial yang kini dikelola PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI itu. Dia memiliki tanggung jawab mengoperasikan dan memelihara lokomotif yang sudah 10 tahun terakhir berubah fungsi dari pengangkut tebu menjadi sarana pengangkut wisatawan mancanegara yang berkunjung ke pabrik itu. Misgianto juga yang selalu menemani para wisatawan yang ingin berkeliling kebun tebu dengan lokomotif uap. "Hanya berkeliling ke kebun-kebun warga sambil berfoto, kadang sampai malam hari," tuturnya.

Sebenarnya PG Olean memiliki tiga lokomotif uap. Namun dua unit lainnya sudah tidak bisa dioperasikan karena kerusakan yang sudah terlalu parah akibat dimakan usia. Bangkai kedua lokomotif tua tersebut disimoan di dalam gudang lokomotif yang terletak di belakang pabrik. "Lagipula, pegawainya sudah banyak yang pensiun. Tidak semua bisa mengoperasikan lokomotif uap," tambah dia.

Sejak 10 tahun lalu, PG yang didirikan pemerintah Hindia Belanda pada 4 Agustus 1846 itu beralih menggunakan lokomotif diesel berbahan bakar solar untuk mengangkut tebu dari kebun. Satu-satunya lokomotif uap yang tersisa kemudian hanya digunakan untuk sarana wisata. Samuel Mahendra, seorang pegawai keuangan PG Olean menjelaskan, sebenarnya pabrik tidak menyediakan khusus lokomotif uap tersebut untuk wisata, hanya saja selalu ada permintaan dari wisatawan mancanegara meminjam lokomotif untuk berkeliling kebun tebu.

"Akhirnya kita pasang tarif Rp 2 juta untuk berkeliling kebun tebu dengan lokomotif uap," katanya. Tidak banyak memang turis yang menyewa lokomotif uap tersebut untuk sarana wisata di kebun tebu. Sejak awal 2016, tercatat hanya dua kunjungan wisata ke pabrik gula tersebut.

 

Lokasi strategis

 

 

 

 

(Achmad Faizal/KOMPAS.com Gudang tua penyimpanan lokomotif di Pabrik Gula Olean Situbondo)

 

 

Selama ini, semua pengunjung adalah wisatawan mancanegara khususnya dari Belanda. Mereka hanya ingin bernostalgia mengelilingi kebun tebu dengan lokomotif uap, dan berkeliling mengunjungi pabrik. "Mereka hanya bernostalgia, bahwa bangsanya dulu adalah pendiri pabrik gula dan berkeliling kebun tebu dengan kereta lokomotif uap," ujar Samuel.

Nantinya, kata Samuel, justru PG Olean akan dijadikan pusat "Workshop Maintenance". Karena PG Olean adalah pabrik gula yang kapasitasnya produksinya kecil, sehingga tenaga pegawainya difokuskan ke urusan perbaikan peralatan 17 PG milik PTPN XI. Kapasitas produksi PG Olean hanya 1.100 ton per hari, jauh dibanding PG besar lainnya seperti PG Jatiroto Lumajang yang mencapai 7.500 ton per hari. Produksi rata-rata gula setiap tahun mencapai total 3.500 ton, dan tetes tebu rata-rata 55 ton per tahun. 

Saat dikelola pemerintah Hindia Belanda, PG yang memiliki areal lahan tebu hanya 50 hektare itu bernama Venoot Schap Phaiton Olean. PG Olean terakhir menjadi milik Fa. Anemaet & Co. Saat Indonesia merdeka, kepemilikan pabrik diambil alih pemerintah Indonesia dengan nama Pusat Perkebunan Negara. PG Olean tercatat beberapa kali berganti nama seiring dinamika perkembangan politik dan pemerintahan Indonesia dan resmi dikelola PTPN XI sejak 11 Maret 1996. 

Lokasi PG Olean yang berada hanya 3 kilometer dari pusat kabupaten Situbondo di jalur pantau utara Jawa Timur, dinilai sangat strategis oleh kalangan perusahaan wisata. Lokasi tersebut berpotensi menjadi tujuan wisatawan dari Surabaya yang akan melancong ke Banyuwangi. "Rata-rata wisatawan mancanegara datang dari Surabaya, tujuannya ke Bromo, lalu ke Banyuwangi. Di PG Olean nanti bisa mampir, karena searah," kata Dyah Ayu Tisnawati, CEO Biro Perjalanan Wisata Bayu Citra Persada.

Dia menyambut baik jika PTPN XI mengembangkan PG Olean sebagai destinasi wisata pabrik gula, karena selama ini di Jawa Timur belum ada wisata semacam itu. "Syukur-syukur bisa melengkapi destinasi andalan wisatawan mancanegara yang ada selama ini selain Kawah Ijen, Gunung Bromo, dan Banyuwangi," ujarnya. 

Namun begitu kata dia, objek wisata pabrik gula Olean harus dikemas secara profesional dengan konsep yang jelas, dan tentu harus berbeda dengan destinasi wisata yang ada selama ini. "Selain sarana dan prasarana serta promosi yang menarik, sumber daya manusia pengelolanya juga harus disiapkan," kata dia.

 

Potensi masa depan

 

(Achmad Faizal/Kompas.com Lokomotif uap ini kerap digunakan para wisatawan mancanegara berkeliling pabrik tebu di Situbondo ini)

 

Potensi wisata agrobis dan "heritage" di PG Olean dianggap potensi bisnis masa depan PTPN XI dalam rangka diversifikasi usaha. Konsep wisata yang sama kata Direktur Perencanaan dan Pengembangan PTPN XI, Aris Toharisman, juga diterapkan di PG Jatiroto di Kabupaten Lumajang. "Di PG Jatiroto, menaiki lokomotif untuk berkeliling kebun tebu mungkin lebih leluasa, karena lahan kebun tebu di sana milik perusahaan," katanya.

Diversifikasi usaha yang dimaksud adalah mengoptimalkan pendapatan perusahaan dari produk non-gula dalam rangka mengejar keuntungan perusahaan. Saat ini kata Aris, sedang dikembangkan produksi listrik dari ampas tebu di PG Jatiroto Lumajang dan Asembagus Situbondo yang akan dijual ke PT PLN. Diversifikasi yang sudah dilakukan dengan memanfaatkan produk hilir tebu di antaranya etanol, alkohol, dan spirtus. Upaya diversifikasi usaha tersebut juga untuk mempersiapkan PTPN XI yang akan menjadi perusahaan Go Publik pada 2017.

Tahun ini, perusahaan mengalokasikan dana Rp 1 triliun untuk diversifikasi usaha. Jumlah itu 10 kali lipat lebih banyak dari tahun sebelumnya. Meski begitu, hasil diversifikasi dinilai masih belum banyak menyumbang keuntungan bagi PTPN XI. "Masih di bawah Rp 1 triliun keuntungannya," papar Aris. 

Kementerian BUMN, sesuai arahan Presiden Jokowi, akhir-akhir ini menggalakkan diversifikasi pabrik gula dalam upaya swasembada gula 3-5 tahun ke depan serta untuk meningkatkan pendapatan petani. 

Diversifikasi usaha pabrik gula dinilai sangat penting jika industri gula di Indonesia masih ingin berkembang. "Jika hanya mengandalkan pendapatan dari gula tidak mungkin, karena gula adalah komoditas yang pergerakan harganya selalu diintervensi pemerintah," kata Menteri BUMN, Rini Soemarno, belum lama ini. Di luar negeri seperti Brasil, kata dia, pendapatan utama pabrik gula justru bukan dari produk gula, namun dari produk hilir seperti listrik dan sebagainya. (Jo/Sumber: disini)