Benih Bioteknologi Jadi Fokus CropLife

Post at Monday, 27 March 2017

SURABAYA (27/03/2017) CropLife Asia mendorong pemerintah segera menyusun regulasi tentang benih biotek untuk meningkatkan efisiensi produk pertanian, menekan impor, hingga menstabilkan harga pangan.

Croplife Asia merupakan asosiasi industri di bidang perlindungan tanaman dan benih/bioteknologi yang menjembatani petani di Asia agar dapat memanfaatkan teknologi, berupa hibrida maupun benih bioteknologi. Asosiasi yang berdiri 15 tahun lalu itu beranggotakan sejumlah perusahaan multinasional diantaranya, BASF, Bayer CropScience, Dow AgroSciences, DuPont, FMC, Monsanto, Nufarm, dan Syngenta.

Direktur Eksekutif CropLife Asia Siang Hee Tan menyebutkan 39 juta petani kecil berada di Indonesia. Secara keseluruhan, sektor pertanian Indonesia menyerap hampir 40% dari total angkatan kerja. Meski memainkan peran penting dalam komposisi total angkatan kerja, kontribusi sektor ini terhadap PDB Indonesia hanya 14%. Perbedaan ini menunjukkan sektor ini belum tergarap maksimal.

"Jadi pertanyannya adalah bagaimana kita meningkatkan taraf petani dalam bentuk teknologi. Ini sangat penting karena sektor pertanian menghadapi kekeringan, banjir, dan suhu yang meningkat," katanya ditemui di sela-sela kegiatan Responsible Business Forum pada Rabu (15/3).

Sejak 10 tahun lalu, Croplife Asia secara konsisten memperkenalkan teknologi perbenihan yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian ini ke pemerintah maupun petani di Tanah Air. Hal ini dilakukan dengan menggelar seminar maupun workshop yang melibatkan keduanya. Tan menyebut dengan menggunakan luas lahan yang sama, produktivitas jagung dari 3-4 ton per ha dapat meningkat menjadi 10 ton per ha dengan bioteknologi.

Diakuinya, ketiadaan regulasi yang mengatur benih biotek berpengaruh pada bisnis anggota Croplife Asia. Terlebih, biaya riset dan pengembangan teknologi perbenihan menelan hingga US$5 miliar atau 10,4% dari penjualan pada 2012. Meski demikian, pengembangan teknologi perbenihan ini dipercaya dapat membantu petani.

Tan menyebut benih bioteknologi sudah diterapkan di 28 negara, diantaranya Filipina dengan lahan seluas 770.000 ha ditanam jagung biotek. Sebagai negara pengimpor jagung sebagai pakan ternak, kini Filipina dapat memenuhi kebutuhan domestiknya sendiri. Dia berharap hal ini juga dilakukan Indonesia, dimana kebutuhan jagung untuk pakan ternak terhitung besar. Apalagi perbedaan harga komoditas jagung dunia sebesar US$200 per ton dan Indonesia US$300 per ton, berimbas pada pakan ternak yang jauh lebih mahal dan dibebankan pada konsumen.

"Tujuan kami bukan hanya membantu perusahaan, tetapi yang paling penting adalah agar petani dapat melihat manfaat dari benih ini," imbuhnya.

Menurutnya, para ilmuwan di Tanah Air perlu mempromosikan hasil temuan bioteknologi mereka. Ini dapat menepis anggapan bahwa teknologi perbenihan ini hanya dimiliki oleh perusahaan asing. Salah satunya PTPN XI yang bekerjasama dengan Universitas Jember yang telah mampu mengembangkan tebu tahan kering.

Tan melihat industri benih biotek akan cerah seiring dengan tantangan perubahan iklim. "Perlu suatu teknologi untuk membantu petani mencari solusi," katanya. (Jo/Sumber:Disini)