Masa Kejayaan Industri Gula Indonesia
Post at Thursday, 27 October 2016
SURABAYA (27/10/2016) Indonesia pernah mengalami era kejayaan indutsri gula pada tahun 1930- an dengan prestasi tertinggi sebagai negara pengeksport gula sebanyak 2,4 juta ton. Produksi puncak pada saat itu sekitar 3 juta ton dengan rendemen 11-13,8 persen (Sudana et al., 2000). Dari fakta ini menunjukkan bahwa sudah 86 tahun berlalu Indonesia meninggalkan era kejayaan industri gula, sejarah pernah mengukir indah tentang industri gula, akankah ada jalan kembali mengulang masa kejayaan tersebut? Bukan pertanyaan yang mudah dan adalah permasalahan sangat kompleks untuk kembali pada kejayaan, tetapi harapan selalu ada. Without History, There Would Be No Future.
Kondisi gula saat ini memang sedang terpuruk, berbagai sektor sangat berkaitan dan masing-masing memerlukan solusi. Hal ini yang mengakibatkan kemunduran yang dialami 86 tahun belakang belum juga mendapatkan pemecahan. Salah satu indikasi yang sangat menonjol adalah kecenderungan volume import gula yang terus bertambah, seperti yang ditunjukkan oleh data berikut ini:
Import gula indonesia baru mencapai 4400 ton pada tahun 1994 dan meningkat menjadi 1,34 juta ton pada 2004 yang artinya meningkat 300 kali lipat dalam 10 tahun. Tahun 2015, produksi gula nasional 2,49 juta ton dengan rendemen ratarata 8,28 persen dari 62 pabrik gula, angka ini lebih rendah dibandingkan tahun 2014 yang mencapai 2, 57 juta ton (data asosiasi gula indonesia ). Sedangkan kementerian perindustrian memperkirakan kebutuhan nasional sebesar 5, 7 juta ton (sindonews, 2015). Artinya produksi lokal hanya bisa memenuhi setengah dari kebutuhan, yang mengharuskan kita import gula dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan tsb. Dibandingkan dengan data 2004, jumlah kebutuhan import gula pemerintah sudah naik tiga kali lipat dari 1,34 juta ton kini 3,7 juta ton. Dahulu indonesia pernah menjadi negara pengeksport gula terbesar di dunia, kini menjadi negara pengimport gula terbesar di dunia. Singkat kata penyebabnya adalah karena semakin tingginya konsumsi yang tidak diimbangi dengan peningkatan produksi. Ada tiga pelaku utama dalam industri gula yang saat ini harus disinergikan untuk mencapai kembali swasembada gula, yaitu: PETANI, PABRIK, dan PEMERINTAH.
Tahun 2012, rendemen mencapi angka 8% dengan harga gula yang menurut petani cukup bagus disekitar Rp. 10.000/kg. Tahun 2013 rendemen turun ke titik 7% dengan harga yang juga turun disekitar Rp. 8.500/kg. Tahun 2014, rembesan impor gula rafinasi melampaui batas kebutuhan yang membuat harga gula semakin anjlok. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, ini yang dirasakan oleh petani. Jika rendemen turun, artinya bagi hasil gula yang didapatkan petani juga ikut turun, ditambah lagi harga gula juga turun. Kerugian yang dialami petani pada saat itu berlipat-lipat. Jika pembagian gula dengan pabrik senilai 70% dalam 1 kwintal tebu petani akan mendapatkan 4,9 kg gula, turun 0,7 kg dari tahun 2012. Belum lagi selisih harga Rp. 1.500/kg, yang artinya petani mengalami penurunan pendapatan sebesar 1.050 rupiah per kwintal tebunya. Jika rata-rata petani tebu indonesia memiliki 50 Ha lahan dengan output rata-rata 700 kw/ha maka penurunan pendapatan yang ditanggung petani sebesar 36.750.000. Angka ini belum lagi ditambah biaya ongkos angkut jikalau musim hujan tidak kunjung reda. HPP per kg petani saat itu kurang lebih 8.800/kg, jadi kerugian petani jika memiliki 50 Ha lahan bisa diperkirakan sekitar 11 juta rupiah.
Kerugian yang dialami petani ini mempengaruhi banyak hal: efek pertama, defisit yang dirasakan petani dalam tempo yang lumayan lama mempbuat banyak petani yang mengurangi lahan penanaman tebu bahkan b eb era p a p et a n i sk a l a k ecil su da h g u l a n g t ik a r. Efek kedua, karena berkurangnya lahan tertanam tebu, pabrik tebu otomatis juga mengalami penurunan jumlah bahan baku, jika bahan baku kurang masa giling pabrik akan berkurang dan produktifitas PG juga akan berkurang. Efek selanjutnya, jika produktifitas pabrik tebu berkurang, maka berkuranglah produktifitas nasional negara yang pada akhirnya bertambahnya kuota import.
Revitalisasi pabrik gula. Revitalisasi ini artinya memperbaiki kondisi dan kualitas pabrik gula agar bisa menghasilkan gula yang berkualitas yang juga berimbas pada kesejahteraan petani. Bahan baku penggilingan gula bersumber pada hasil tanam petani, petani akan bangkit jika pbarik juga memberikan jaminan kesejahteraan dalam hal ini rendemen. Restrukturisasi permesinan dengan memperbaiki mesin dan peralatan industri gula yang sudah ada saat ini, guna menambah kapasitas giling serta memperbaiki kekuatan peras mesin sehingga dapat meningkatkan rendemen. Dampak dari peremajaan ini akan menambah volume produksi semua pabrik, sehingga gula yang dihasilkan semakin banyak, kebutuhan gula dalam negeri dapat terpenuhi.
Selain memperbaiki permesinan dari pabrik gula yang sudah ada, jumlah pabrik gula yang dimiliki Indonesia saat ini masih kurang untuk mencapai target swasembada gula, pemerintah juga harus memiliki rencana untuk menambah pembangunan pabrik gula baru baik swasta maupun BUMN. Jumlah pabrik gula (PG) yang masih beroperasi di Indonesia saat ini berjumlah 58 PG, dimana 54 PG berada di Jawa dan sisanya 12 PG di luar P. Jawa (Sumatera dan Sulawesi). Total kapasitas produksi industri gula sekitar 197.847 ton cane per day (TCD) (kompas, 2015). Padahal produksi gula indonesia saat ini masih setengah dari kebutuhan, artinya kapasitas produksi semestinya dua kali lipat dari kemampuan saat ini. Hal ini merupakan langkah yang juga membutuhkan pendanaan yang tidak sedikit, untuk membangun satu pabrik baru dibutuhkan minimal 1,5 - 2 trilliun rupiah dengan kapasitas 10 ribu TCD, dan pengembalian investasi cukup lama dalam kurun waktu 8 tahun (setyawati, 2016).
Pemerintah bisa menarik investor jika memang terbatas dengan pendanaan. Jika revitalisasi pabrik gula sudah terwujud, jumlah pabrik gula bertambah, permasalahan yang muncul kemudian adalah ketersedian suplai bahan baku, dan disini selain pabrik gula harus memiliki lahan tebu sendiri, setengah nasib pabrik berada pada tangan petani. Data dari kementrian pertanian mengatakan 71,38% (gambar 2) bahan baku gula bersumber di jawa timur, dengan total produksi tahun 2014 mencapai 1,26 juta ton tebu (BPS provinsi Jawa Timur). Angka ini menunjukkan Pemerintah perlu merencanakan dan sesegera memulai untuk melabarkan sayap ke luar jawa agar tercapai swasembada gula. Jika terlalu bertumpu pada tanah jawa, sulit sekali untuk memperluas lahan pertanian mengingat kepadatan penduduk yang tidak merata. Jika permesinan pabrik sudah efisien, efek yang dirasakan petani adalah kesejahteraan, petani akan mendapat rendemen yang cukup tinggi. Semakin petani sejahtera, mereka petani akan mengekspansi dan memperbaiki kualitas tebu yang ditanam, semakin pabrik tidak kesulitan mencari material giling dan semakin bagus kualitas gula yang dihasilkan. Output akhirnya adalah semakin meningkatknya jumlah produksi gula di Indonesia, swasembada semakin dekat.
Kebijakan pemerintah adalah sektor penting yang punya peran vital. Ketika petani siap, pabrik juga siap, mustahil akan berjalan jika kebijakan pemerintah belum siap. Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan Indonesia sebagai komoditas khusus dalam forum perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), bersama beras, jagung dan kedelai. Dengan pertimbangan utama untuk memperkuat ketahanan pangan dan kualitas hidup di pedesaan, Indonesia berupaya meningkatkan produksi dalam negeri, termasuk mencanangkan target swasembada gula, yang sampai sekarang belum tercapai. Sejak tahun 2007 sampai dengan 2011, pemerintah mengimport gula jauh lebih besar dari kebutuhan yaitu rata-rata sebesar lebih dari 2,5 juta ton (sebagian besar berbentuk raw sugar dan white sugar dan refined sugar) dan terus bertambah dari tahun ke tahun, tahun 2010 import 3,3 juta ton (Hairani, 2014). Artinya, jika pemerintah mengimport gula lebih daripada yang dibutuhkan, hukum ekonomi akan berjalan, supply gula yang ada lebih banyak daripada demand, yang mengakibatkan harga menjadi turun. Hal ini merugikan petani dan berimbas pada kemampuan giling pabrik. Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menyatukan visi misi menuju swasembada gula adalah mendukung revitalisasi pabrik gula dengan memberikan permodalan investasi, mempermudah investor swasta membangun pabrik di Indonesia, serta proporsi impor harus sesuai dengan kebutuhan nasional.
Gambar tersebut menunjukkan rangkuman skema menuju swasembada gula Indonesia. Perubahan ini tidak dapat ditekankan pada satu sektor saja, ketiga sektor penting ini (petani, pabrik, dan pemerintah) harus melangkah bersama. Ketiganya saling berhubungan dan saling terkait. Merupakan program yang amat sangat besar dan kompleks serta melibatkan banyak pemangku kepentingan, seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Keuangan, dan lainlain, serta meliputi berbagai aspek/bidang, seperti mesin/peralatan, lahan, infrastruktur, produktivitas lahan, permodalan, sarana irigasi, dll. (Kemenperin, 2012). Dan tidak sedikit uang yang harus disiapkan oleh pemerintah untuk investasi ini, tahun 2012 kementrian perindustrian telah menganggarkan dana sebesar Rp. 218,73 Milyar untuk merevitaliasi industri gula, dan tampaknya tahun 2016 ini belum ada perubahan signifikan dalam industri gula. Pemerintah diharapkan mengkaji ulang potensi swasembada pangan di Indonesia sebagai competitive advantage, artinya produk pangan yang dihasilkan bisa lebih menjual daripada produk pangan negara lain. Indonesia merupakan negara agraria dengan tanah yang subur, tenaga kerja yang berlimpah, dan varietas pangan yang bermacam-macam. Di banding dengan Thailand, tanah indonesia lebih subur, tenaga kerja lebih murah dan melimpah. Lalu kenapa kita harus mengimport gula dari Thailand? Saatnya, secara bertahap asal konsisten, Indonesia melangkah menuju swasembada pangan seperti 86 tahun yang lalu.(Jo)
DAFTAR PUSTAKA
Hairani, R. I. Joni M. M., Jani J. 2014. Analisa Trend Produksi dan Impor Gula Serta Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Impor Gula Indonesia. Berkala Ilmiah Pertanian, Vol. 1 No. 4, hlm 77-85. Katalog BPS 5102001, 2015. Indikator pertanian Tahun 2015 Profinsi Jawa Timur. Badan Statistik Provinsi Jawa Timur. Setyawati, Araminta. 2016. Manis Pahitnya Industri Gula di Indonesia. Neraca, Harian ekonomi. Sudana, W., P. Simatupang, S. Friyanto, C. Muslim dan T. Soelistiyo. 2000. Dampak Deregulasi Industri Gula Terhadap Realokasi Sumberdaya, Produksi Pangan, Dan Pendapatan Petani. Laporan Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Susila, R. Wayan. 2005. Dinamika Impor Gula Indonesia, Sebuah Analisis Kebijakan. Agrimedia Volume 10, No.1. Pusat Data dan sistem informasi Pertanian, 2014. Outlook Komoditi Tebu. Sekertariat Jendral Kementerian Pertanian.
S u m b e r O nl i ne :
http://www.kemenperin.go.id/artikel/21/Revitalisasi-Industri-Gula
http://ekbis.sindonews.com/read/985768/34/kebutuhan-gula-nasional-capai-
5-7-juta-ton-1428310340
http://bisnis.liputan6.com/read/2410780/produksi-gula-nasional-2015-
meleset-dari-target
Penulis : Azmil Chusnaini (Juara II Lomba Tulis Jurnalistik)